Thursday, October 18, 2007

Pembagian Tawasul


Tawasul itu terbagi menjadi tiga tingkatan nilai. Pertama yang dinilai sebagai Tawasul bis Silsilah, yakni bertawasul dengan Figur-figur yang bersambungan antara orang yang bertawasul dengan Guru-guru talqin dzikir hingga sampai kepada Rasulullah SAW. Tawasul inilah yang shahih dan utama, yang bersifat menyampaikan, karena mempunyai hubungan yang erat antara orang yang bertawasul dengan yang ditawasuli.
Yang kedua, dinilai sebagai Tawasul bil Barokah[1]. Yakni bertawasul dengan para Nabi, para Awliya dan Sholihin yang tidak mempunyai hubungan silsilah dzikir dengannya, meskipun figur yang ditawasuli itu merupakan orang yang amat dikenal kesalehannya seperti: Khalifah yang empat (Abu Bakar Ra., Umar Ra., Utsman Ra., Ali Ra.), para Imam madzhab, para Mursyid, Awliya, Shalihin, dsb. Bertawasul kepada mereka semua hanyalah sebagai penghormatan, dan kita mengharapkan keberkahan dari kesalehannya.
Yang ketiga, dimasukkan dalam kategori Tawasul lil Hadiyah. Yakni bertawasul atau memberikan Fatihah kepada orang-orang yang mempunyai hubungan/hak dengan kita, namun tidak mempunyai hubungan rantai dzikir, seperti kedua orang tua, saudara-saudara kita sesama muslim, dsb. Dan kita tidak bisa menggunakan figur orang-orang yang masih diragukan kesalehannya, apalagi yang masih mengharapkan ampunan dan syafa’at dari orang-orang yang masih hidup. Secara syari’at kita-lah yang masih hidup yang pantas menolong mereka, bukan mereka yang kita mintakan tolong untuk menyampaikan hajat kita kepada Allah SWT.
Alat/perantara dzikir itu terdiri menjadi 2 bagian: (pertama) dengan figur/tokoh yang telah mendapat mandat kekhalifahan (istikhlaf), dan diakui keshalehannya (dekat kepada Allah), dan (kedua) dengan amal shaleh yang telah dilakukannya. Berkenaan dengan masalah ini Berkata Syaikh Ismail Al-Khalidi Rahimahullah:
“Dan wasilah (jalan) itu dengan segala macam amal shalih. Dan tiadalah diperoleh amal shalih itu kecuali dengan ikhlas. Dan tidaklah amal yang shalih itu kecuali bersih daripada campuran-campuran kekotoran hati. Dan bagi kami telah berhasil dengan berbagai pengalaman-pengalaman bahwa sesungguhnya jika kami menyibukkan dengan Rabithah, maka hilanglah campuran-campuran lalai hati daripada amal-amal kami”. Jadi amal yang lalai itu hampa dan dengan wasilah maka hilanglah lalai itu. Sebab hilangnya lalai itu ialah Hudhurnya hati. Dan semulia-mulia & seutama-utama wasilah adalah dengan Rabithah.
Contoh bertawasul dengan amal adalah sebagaimana dituturkan oleh Rasulullah SAW kepada kita mengenai kisah 3 orang yang terhimpit di dalam gua. Hadits itu adalah sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA. Berkata: “Saya telah mendengar Rasulullah SAW bersabda:
‘Terjadi pada masa dahulu sebelum kalian, ada 3 orang berjalan-jalan hingga terpaksa bermalam di dalam gua. Tiba-tiba ketika mereka sedang berada dalam gua itu, jatuh sebuah batu besar dari atas bukit dan menutupi pintu gua itu, hingga mereka tidak dapat keluar. Maka berkatalah mereka: ‘Sungguh tiada suatu yang dapat menyelamatkan kita dari bahaya ini, kecuali jika bertawasul kepada Allah dengan amal-amal shalih yang pernah kamu lakukan dahulu kala’. Maka berkata seorang di antara mereka: ‘Ya Allah! Dahulu saya mempunyai ayah dan ibu, dan saya biasa tidak memberi minuman susu pada seorangpun sebelum keduanya, yakni ayah ibu saya meminumnya terlebih dahulu, baik pada keluarga atau hamba sahaya. Maka pada suatu hari agak kejauhan bagiku menggembala ternak, hingga tidak kembali pada keduanya, kecuali sesudah malam dan ayah bundaku telah tertidur. Maka saya terus memerah susu untuk keduanya, dan sayapun segan untuk membangunkan keduanya, dan sayapun tidak akan memberikan minuman itu kepada siapapun kecuali ayah bunda saya. Maka saya tunggu keduanya hingga terbit fajar, maka bangunlah keduanya dan minum daripada susu yang saya perahkan itu. Padahal semalam itu juga anak-anakku sedang menangis minta susu itu, di dekat kakiku. Ya Allah! Jika saya berbuat itu benar-benar karena mengharapkan keridhaanMu, maka lapangkanlah keadaan kami ini’. Maka menyisih sedikit batu itu, hanya saja mereka belum dapat keluar daripadanya. Orang yang kedua berdo’a: ‘Ya Allah! Dahulu saya pernah terikat cinta kasih pada anak gadis pamanku, maka karena sangat cinta kasihku, saya selalu merayu dan ingin berzina padanya, tetapi ia selalu menolak hingga terjadi pada suatu saat ia menderita kelaparan dan datang minta bantuan kepadaku, maka saya berikan padanya uang 120 dinar tetapi dengan janji bahwa ia akan menyerahkan dirinya kepadaku pada malam harinya. Kemudian ketika saya telah berada di antara kedua kakinya, tiba-tiba ia berkata: ‘Takutlah kepada Allah dan jangan engkau pecahkan tutup kecuali dengan cara yang halal. Maka saya segera bangun daripadanya padahal saya masih tetap menginginkannya, dan saya tinggalkan dinar emas yang telah saya berikan kepadanya itu. Ya Allah! Bila saya berbuat itu semata-mata karena mengharap KeridhaanMu, maka hindarkanlah kami dari kemalangan ini. Maka bergeraklah batu itu menyisih sedikit, tetapi mereka belum juga dapat keluar daripadanya’. Yang ketiga berdo’a: ‘Ya Allah! Saya dahulu adalah seorang majikan yang mempunyai banyak buruh pegawai, dan pada suatu hari ketika saya membayar upah buruh-buruh itu, tiba-tiba ada seorang dari mereka yang tidak sabar menunggu, segeralah ia pergi meninggalkan upah dan terus pulang ke rumahnya tidak kembali. Maka saya pergunakan upah itu hingga bertambah dan berbuah hingga menjadi suatu kekayaan. Kemudian setelah lama datanglah buruh itu, berkata: ‘Hai Abdullah! Berilah kepadaku upahku yang dahulu itu!’ Jawabku: ‘Semua kekayaan yang di depanmu itu merupakan upahmu, berupa unta, lembu, dan kambing serta budak penggembalanya’. Berkata orang itu: ‘Hai Abdullah! Kau jangan mengejekku!’ Jawabku: ‘Aku tidak mengejekmu’. Maka diambilnya semua yang saya sebut itu dan tiada meninggalkan satupun daripadanya. Ya Allah! Jika saya berbuat itu karena mengharapkan KeridhaanMu, maka hindarkanlah kami dari kesempitan ini’. Tiba-tiba menyisihlah batu itu hingga keluar mereka semua dengan selamat’.[2]

Sedangkan contoh bertawasul dengan figur adalah sebagaimana diriwayatkan Imam Thabrani dalam Mu’jamus Shagir, Al-Hakim Naisaburi dalam Mustadrak ash Shihhah, Abu Nu’aim dan Baihaqi dalam Dalail An-Nubuwwah, Ibnu ‘Asakir Syami dalam Tarikh-nya, dan Imam Hafizh As-Suyuthi dalam Ad-Durrul Mantsur serta dalam Ruhul Ma’ani dengan sanad dari S. Umar bin Khatthab, menukil bahwa Nabi SAW bersabda:
“Ketika Nabiyyallah Adam melakukan dosa, ia menengadahkan kepalanya ke langit dan berkata: ‘Wahai Tuhan, aku memohon kepadaMu dengan Haq Muhammad agar Engkau mengampuniku’. Lalu Allah mewahyukan kepadanya: ‘Siapakah Muhammad?’ Nabiyyallah Adam menjawab: ‘Ketika Engkau menciptakanku, aku mengangkat kepala ke arah ‘ArasyMu, dan lalu aku melihat, di sana tertulis: Laa Ilaaha Illallaaah Muhammadur Rosulullaah. Akupun berkata kepada diriku, bahwa tiada seorangpun yang lebih agung daripada orang yang namanya telah Engkau tuliskan di samping NamaMu’. Ketika itu Allah mewahyukan kepadanya: ‘Dialah Nabi yang terakhir daripada keturunanmu, dan jika tidak karena dia, niscaya Aku tak akan menciptakanmu’.
Dalam suatu hadits yang ditakhrijkan Ibnu Majah dan An-Nisa‘i dalam Sunan-nya, demikian pula At-Tirmidzi (beliau memberikan nilai shahih atasnya), disebutkan:
“Bahwa seorang buta pernah datang kepada Nabi SAW seraya berkata: ‘Yaa Rasulullah, sesungguhnya aku mendapat musibah pada mataku, maka berdo’alah engkau untukku kepada Allah’. Maka sabda Nabi SAW kepadanya: ‘Berwudhulah engkau dan shalatlah 2 raka’at, lalu katakan demikian: Yaa Allah, sesungguhnya aku bermohon dan menghadap kepada Engkau, dengan Nabi-Mu Muhammad. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menuntut syafa’at engkau dalam pengembalian penglihatanku ini. Yaa Allah, perkenankanlah syafa’at Nabi ini kepadaku. Dan sabdanya: ‘Maka jika ada bagimu sesuatu keperluan, katakanlah seperti itu!’ ”
Demikianlah pembagian tawasul yang penting untuk kita pahami dengan sebenarnya. Selanjutnya cara bertawasul yang benar, harus diisi dengan hajat/keperluan yang benar pula. Sebab di masa sekarang ini, banyak orang yang menyalahgunakan tawasul untuk keperluan yang jauh dari Ridha Allah SWT, tidak sebagaimana para pendahulu kita yang menggunakan tawasul semata-mata untuk ibadah, atau mendekatkan diri (ber-taqarub) kepada Allah semata. Di antaranya adalah untuk mendapatkan ilmu-ilmu tertentu seperti kebal, dll., dijadikan nadzar untuk maksud-maksud duniawi, dsb. Kenyataan inilah yang membuktikan pentingnya pembimbing dzikir/tawasul bagi orang yang sedang menekuni jalan ini agar tetap lurus tawasul-nya awal maupun akhir.
Wallahu A’lam.

(Dikutip dari Buku ‘DZIKIR QUR’ANI, mengingat Allah sesuai dengan fitrah manusia’)

========================================================
[1] Artinya mengambil tabarruk (berkah).
[2] HR. Bukhari & Muslim
========================================================
salam,
ikhwan TQN

Mereka yang Bertawasul (Mutawassilun)


(i) Rasulullah juga bertawasul
Bertawasul itu ternyata bukanlah semata-mata sebagai ilmu atau amalan yang dikembangkan oleh orang-orang yang berthariqat saja, tetapi Rasulullah SAW sendiri bertawasul, dan semua umat Islam bertawasul di dalam shalatnya (yakni ketika bertasyahud). Kenyataan ini membuktikan bahwa landasan bertawasul tidak hanya menggunakan pijakan hadits Nabi yang perjalanannya sering diragukan keberadaannya (shahih atau tidak). Bahkan kaidah keshahihan menurut jumhur Ulama mulai dipermasalahkan oleh umat Islam sekuler.
Kita membaca do’a tasyahud dengan bacaan berikut:
“Yaa Allah berikan limpahan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW dan keluarganya, sebagaimana Engkau telah berikan itu semua kepada Nabi Ibrahim beserta keluarganya”.
Dasar bertawasul yang kami kemukakan di sini berdasarkan fakta peribadatan yang selalu kita lakukan sehari-hari. Rasulullah secara pribadi juga mengucapkan lafal yang sama dengan kita, bertawasul dengan maqam pribadi beliau yang telah ditentukan ketinggiannya di sisi Alah SWT.
Satu tela’ah lagi jika kita mau merenung, yaitu tentang keberadaan Nabi Ibrahim dalam kalimat tasyahud tersebut. Beliau As yang memiliki rentang waktu ratusan abad sebelum Nabi kita SAW masih tetap dijadikan sosok utama di antara para Nabi/Rasul lainnya. Hal ini dikarenakan dari sulbi beliau melahirkan generasi para Nabi setelahnya yang sambung menyambung hingga kepada Nabi Muhammad SAW. Di dalam pribadi Nabi Ibrahim As itu ternyata memiliki ketauladanan bagi orang-orang sesudahnya berkenaan masalah ketauhidan, yakni teguh dalam mempertahankan keyakinannya.
Demikian pula tersebut dalam suatu do’a Nubuwwah-nya beliau SAW pernah bersabda:
“Yaa Allah, sesungguhnya aku bermohon kepada Engkau dengan haq orang-orang yang bermohon kepada Engkau”.[1]

(ii) Para Nabi terdahulu melakukan tawasul
Ketika anak-anak Ya’qub As. merasa bersalah (karena berusaha mencelakakan Yusuf As.), mereka semua menghadap orang tuanya, dan memohon kepada Ya’qub As. “Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)”. Ya’qub berkata, “Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dialah Yang Pengampun lagi Penyayang (kepada seluruh hamba-Nya)”. (QS. Yusuf[12]: 96-98). Inilah salah satu bukti Tawasul yang dilakukan pada masa dahulu.

(iii) Para sahabat bertawasul
Diriwayatkan oleh Utsman bin Hunaif: ‘Seorang lelaki tuna netra datang kepada Rasulullah dan berkata: ‘Mohonkanlah kepada Allah agar menyembuhkanku’. Nabi SAW bersabda: ‘Jika engkau menghendaki aku akan mendo’akanmu, tapi jika engkau mau bersabar, maka itu lebih baik bagimu’. Orang itu berkata: ‘Do’akanlah!’ Nabi kemudian memerintahkannya berwudhu dengan baik lalu shalat 2 raka’at, dan membaca do’a: ‘Ya Allah, aku memohon kepadaMu dengan perantara NabiMu, Muhammad, Nabi Rahmat. Wahai Muhammad, dengan perantaraanmu aku memohon kepada Tuhan Allah agar mengabulkan hajatku. Ya Allah, terimalah syafa’atnya untukku….’[2]

(iv) Orang-orang Yahudi pernah bertawasul dengan Nabi SAW
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan setelah datang kepada mereka Al-Quran dari Allah yang membenarkanapa yang ada pada mereka[3], padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la’nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu”. (Q.S. Al-Baqarah[3]: 89)
Berkata Ibnu ‘Abbas Ra.: Orang-orang Yahudi Khaibar pada masa dahulu memerangi suku Ghathafan, tetapi setiap bertempur, Yahudi menderita kekalahan. Merekapun berlindung dan memanjatkan do’a:
“Yaa Tuhanku, sesungguhnya kami memohon dengan haq (kebenaran) Nabi yang Ummy, yang dijanjikan kepada kami akan datang kepada kami di akhir zaman, agar Engkau menolong kami mengalahkan mereka (musuh kami)”.
Setiap bertempur mereka berdo’a seperti ini sehingga akhirnya berhasil mengalahkan suku Gathafan. Namun setelah Nabi Muhammad SAW diutus kepada mereka, mereka (orang-orang Yahudi itu) mengingkarinya. Maka turunlah ayat tersebut di atas yang menyebabkan laknat Allah turun atas mereka (orang-orang Yahudi).[4]
Dalam riwayat lainnya diketengahkan oleh Ibnu Abu Hatim, dari Said atau Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa orang-orang Yahudi Madinah biasa memohon kemenangan terhadap orang-orang Aus dan Khazraj atas nama kedatangan Rasulullah SAW sebelum kebangkitannya. Maka setelah Allah membangkitkannya dari golongan Arab, mereka kafir kepadanya dan membantah apa yang pernah mereka katakan mengenainya. Maka kata Muadz bin Jabal, Bisyr bin Barra, dan Daud bin Salamah kepada mereka: “Hai golongan Yahudi, takutlah kamu kepada Allah dan masuk Islamlah! Bukankah kalian selama ini meminta kedatangan Muhammad untuk membantu kamu terhadap kami, yakni sewaktu kami berada dalam kemusyrikan, kamu katakan bahwa ia akan dibangkitkan bahkan kamu lukiskan sifat-sifatnya!” Jawab Salam bin Misykum: “Ia tidak membawa ciri-ciri[5] yang kami kenal, dan dia bukanlah seperti yang kami sebutkan kepadamu dulu”. Maka Allah menurunkan ayat tersebut di atas.[6]

(v) Para Ulama yang bertawasul
Banyak para Ulama yang mengamalkan tawasul, sehingga tidak mencukupi untuk dibentangkan di dalam tulisan yang terbatas ini. Namun cukup kiranya kami ungkapkan beberapa di antaranya, yaitu:
1. Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi[7], dalam permulaan kitabnya yang bernama Nafahat Syarah Waraqat disebutkan:
“Berkata saya Ahmad bin Abdillah al Khatib yang faqir kepada Allah, Tuhan yang memperkenankan do’a, Tuhan yang diharapkan ma’af dan ampunan-Nya, dengan kebesaran Rasul-Nya yang dikasihi”.
2. Syekh Sayid Bakri Syatha (w. 1310 H), di akhir kitabnya I’anatut Thalibin[8] menyebutkan:
“Saya tunduk merendah diri kepada Allah dan saya memohon karunia-Nya, bertawasul dengan Nabi-Nya yang mulia, supaya karangan ini berfaedah sebagaimana faedah yang telah dicapai oleh asalnya …… “
3. Syekh Nawawi al Bantani[9], menyebutkan di akhir kitabnya Tijanud Darari:
“Dan kepada Allah saya bermohon dan dengan Nabi-Nya saya bertawasul, supaya dijadikan-Nya kitab ini ikhlas bagi wajah-Nya yang mulia”.
4. Dll.
Pengarang kitab Khulashatul Wafa mengatakan bahwa:
“Bahwasanya tawasul dan tasyaffu’ (meminta syafa’at) dengan Nabi Muhammad dan dengan kebesaran-nya, dan dengan barakahnya adalah sunnah Rasul-rasul dan amal Ulama-ulama Salaf yang saleh”.[10]

(Dikutip dari Buku ‘DZIKIR QUR’ANI, mengingat Allah sesuai dengan fitrah manusia’)

==================================================
[1] 100 masalah Agama, KHM. Syafi’i Hadzami, Menara Kudus, Jilid 2, hal. 42. Hadits yang senada ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah, Targhib wat Tarhib (Jilid 1, hal 179), Shahih Ibnu Khuzaimah, Ibnu Sunni, Abu Nu’aim. Dinilai Hasan oleh Al ’Iraqi dan Ibnu Hajar. Juga tersebut dalam kitab Mughni ‘an Hamalil Ashfar, Ihya Juz I, hal. 223.
[2] Hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam An Nasa’i, Baihaqi, Thabrani, Turmudzi dan Hakim, dan lainnya dengan lafazh berbeda.
[3] Maksudnya: kedatangan Nabi Muhammad SAW yang tersebut dalam Taurat di mana diterangkan sifat-sifatnya.
[4] Tafsir Al-Qurthubi, Juz II, hal. 26-27. Diriwayatkan oleh Hakim dalam Al-Mustadrak-nya, dan Baihaqi dalam ad Dala-il. (lihat Lubabun Nuqul fii Asbaabin Nuzul, Imam Jalaluddin as Suyuthi)
[5] Diriwayatkan Ibnu Hatim dari jalur Ikrimah, dari Ibnu Abbas, katanya: Pendeta-pendeta Yahudi menemukan sifat-sifat Nabi SAW tercantum dalam Taurat sebagai berikut: “Biji matanya hitam, tinggi badannya sedang, rambutnya keriting dan wajahnya rupawan”. Karena dengki dan iri hati, gambaran ini mereka hapus lalu mereka ganti dengan: “Kami temui tanda-tandanya sebagai seorang yang tinggi, biru matanya, dan berambut lurus”. (Lubabun Nuqul fii Asbaabin Nuzul, Imam Jalaluddin as Suyuthi)
[6] Lubabun Nuqul fii Asbaabin Nuzul, Imam Jalaluddin as Suyuthi.
[7] Salah seorang Ulama kelahiran Indonesia yang menjadi Imam di Masjid al Haram di Mekkah, dan menjabat sebagai Mufti Madzhab Syafi’i, wafat th. 1916 M.
[8] Syarah kitab Fathul Mu’in. Sebuah kitab Fikih yang dipakai hampir di seluruh pesantren dan sekolah agama di seluruh Indonesia.
[9] Seorang Ulama berasal dari Banten, yang bermukim di Mekkah sekitar tahun 1297 H. Pernah Imam masjid al Haram Mekkah ini diberi gelar Sayyidul Ulama al Hijaz. Beliau merupakan Ulama yang produktif dalam mengarang kitab-kitab, di antaranya banyak yang dijadikan sebagai pegangan kitab kuning di pesantren-pesantren, seperti: Tijanud Darari (Syarah kitab Tauhid Ibrahim al Bajuri), Nihayatuz Zain (fikih Syafi’i), Syarah al Ajrumiah, Fathul Majid, Barzanji, Lubabul Bayan, Tafsir Munir, ‘Uqudul Lujain, dll.
[10] 40 Masalah Agama, Buku I, Sirajuddin Abbas.
==================================================
salam,
ikhwan TQN

Pengertian Tawasul


Tawasul [1] berarti perantara atau penghubung, sebagaimana Allah memiliki Ruhul Amiin, Jibril AS, untuk menyampaikan wahyu kepada Rasulullah SAW. Demikianlah pencapaian makrifat kepada Allah, yakni terungkapnya hijab dengan Allah melalui rantai-rantai wasilah, yakni perantara yang sampai kepada Rasulullah. Demikian karena si hamba dhaif lagi faqir, maka perlulah bertawassul kepada Balatentara Allah yang suci agar hajatnya mudah sampai hadhirat Allah Yang Agung lagi Suci daripada gambaran hamba yang hina.
Perintah Allah Ta’ala dalam Al-Quran:
“Wahai orang-orang yang beriman, taqwalah engkau kepada Allah dan carilah wasilah sebagai jalan yang mendekatkan dirimu kepadaNya dan bermujahadahlah (berjuanglah) pada jalanNya, supaya kamu mendapatkan keberuntungan”.[2] (QS. Al-Maidah[5]:35).
DR. Muhammad Al-Maliki Al-Hasani mengatakan bahwa Al-Wasilah adalah segala sesuatu yang dijadikan Allah sebagai penyebab untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan penyambung untuk dipenuhNya segala kebutuhan. Untuk itu, demi suksesnya tawasul, yang ditawasuli atau yang menjadi perantara itu mesti mempunyai kedudukan dan kehormatan di sisi Allah SWT sebagai yang dituju dengan tawasul.
Orang yang bertawasul dengan perantara seseorang berkeyakinan bahwa orang tersebut adalah orang saleh atau Wali Allah atau orang yang memiliki keutamaan menurut prasangka baik terhadapnya. Orang-orang tersebut dianggapnya sebagai orang yang dekat kepada Allah dan dicintaiNya. Sebab orang yang menanamkan rasa cinta dan keyakinan yang erat pada kalbunya akan dibalas karenanya. Allah SWT berfirman: “….. Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya..” (QS. Al-Maidah[5]:54). Jadi orang yang bertawasul menurut hakikatnya bertawasul kepada Allah.
Seakan-akan orang yang bertawasul kepada seorang Awliya itu berkata, “Wahai Tuhan, sesungguhnya aku mencintai si Fulan. Aku berkeyakinan bahwa ia mencintai-Mu. Ia adalah orang yang suka beribadah secara ikhlas untuk berbakti kepada-Mu. Saya juga berkeyakinan bahwa Engkau mencintainya dan meridhainya. Maka aku bertawasul – membuat perantara – untuk menuju kepada-Mu dengan perantaraan kecintaanku kepadanya dan lewat keyakinanku mengenai dirinya, hendaklah Engkau mengabulkan permohonanku, dan ….” Tetapi kebanyakan orang tidak mampu merinci keyakinan mereka mengenai yang ditawasuli – yang menjadi perantara – dengan keyakinan bahwa Allah SWT Yang Mengetahui – yang mengetahui segala ada di langit dan bumi serta mengetahui kedipan mata dan apa yang tersembunyi di dada – itu lebih jeli dan lebih mengetahui keyakinan orang yang bertawasul terhadap yang ditawasuli.
Inilah juga yang mendasari tawasul dengan rabithah, yang hanya membayangkan wajah seorang Awliya (Mursyid) akan mendekatkan kalbu (dirinya) kepada Allah SWT, dan yang berabithah itu tidak merinci apa-apa yang terbetik dalam dadanya. Hal tersebut amat mujarab dan banyak terbukti, telah dilakukan oleh banyak kalangan Ahli Tashawuf dan Hakikat.
Kata-kata Al-Wasilah (perantara) yang dimuat ayat Al-Quran itu bersifat umum. Dengan demikian, ia mencakup tawasul dengan zat atau pribadi yang mulia dari kalangan para Nabi dan orang-orang saleh, baik ketika mereka masih hidup maupun setelah wafatnya; juga mencakup tawasul kepada Allah dengan perantaraan amal-amal nyata yang baik yang diperintahkan Allah SWT dan Rasulullah SAW. Bahkan, amal perbuatan yang telah lalu dapat juga dijadikan sebagai wasilah atau perantara dalam bertawasul.
DR. Muhammad Al-Maliki Al-Hasani menjelaskan beberapa makna bertawasul:
1. Tawasul termasuk salah satu cara berdo’a dan salah satu pintu untuk menghadap kepada Allah SWT. Jadi, yang menjadi sasaran atau tujuan asli yang sebenarnya – dalam bertawasul – adalah Allah SWT. Sedangkan yang ditawasuli (al-mutawassal bih) hanya sekedar perantara (wasithah dan wasilah) untuk taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan demikian, siapa yang berkeyakinan selain demikian, sungguh ia telah menyekutukan Allah.
2. Sesungguhnya yang bertawasul itu tidak bertawasul dengan (menggunakan) perantara (al-mutawassal bih), kecuali karena ia mencintai perantara itu, seraya berkeyakinan bahwa Allah SWT-pun mencintai perantara tersebut. Jika tidak demikian, ia akan termasuk manusia yang paling jauh dari perantara tersebut, bahkan akan menjadi manusia yang paling benci kepadanya.
3. Jika yang bertawasul berkeyakinan bahwa yang ditawasuli atau yang menjadi perantara (al-mutawassal bih) itu berkuasa memberikan manfaat dan menolak mudharat dengan kekuasaannya sendiri – seperti Allah atau lebih rendah sedikit – maka ia telah menyekutukan Allah SWT.
Pada intinya tawasul itu sendiri merupakan wujud birokrasi umat sekarang terhadap umat terdahulu. Karena seandainya tidak ada jasa baik dan ijtihad umat terdahulu, maka tidak akan mungkin ada Iman dan Islam umat di akhir zaman. Inilah bukti komitmen orang yang bertawasul terhadap keberadaan mereka, sebagai realisasi perilaku orang-orang yang bermoral/berakhlak mulia.
Begitulah para ahli Thariqat, bertawasul kepada guru-gurunya hingga kepada Rasulullah SAW, yang menandakan keabsahan birokrasi Ilahiyah. Inilah kemudian yang dapat menjadikan standar kemandatan seseorang dalam memangku sebuah kepemimpinan semacam thariqat Rasul.

(Dikutip dari Buku ‘DZIKIR QUR’ANI, mengingat Allah sesuai dengan fitrah manusia’)

=====================================================
[1] Pengertian Tawasul secara lughawi:
“Bertawasul ia kepadanya dengan suatu wasilah, sama dengan mendekatkan diri ia kepadanya dengan suatu amal”. (Lisanul ‘Arab, Juz XIV: 250)
[2] Dalam Al-Quran ada 2 tempat yang menyebutkan ‘Wasilah’, satu ayat lainnya Surat Al-Isra’[17]: 57): “Mereka mencari perantara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan”.
=====================================================
salam,
ikhwan TQN

Tuesday, October 16, 2007

Selamat Idul Fitri 1428H

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar
La ila-ha ill-lal-lah. Allahu Akbar,
Allahu Akbar. Wa-lilahill hamd.

God is Greatest, God is Greatest, God is Greatest
There is no God but Allah, God is Greatest,
God is Greatest And all praises are for Allah.

Taqobbalallahu minna wa minkum, shiyamana washiyamakum taqobbal yaa kariim,Minal 'aa-idin wal faa-izin wal maqbuulin wa antum bikhoirin wa 'aafiyatin fii kulli 'aamin. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1428 H, Mohon Maaf Lahir dan Bathin

"Mari kita mempererat tali silaturahmi, meningkatkan kesadaran untuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan taqwa sehingga semangat Ramadhan tetap menemani kita disetiap saat, menjadikan kita manusia seutuhnya yang selalu berusaha untuk mengekang hawa nafsu dan meningkatkan iman dan taqwa kepada Allah Swt. dengan dzikrullah"(conclusion sermonize Eid Mubarak in mosque "Nurul Asror-suryalaya", by: KH. Zaenal Abidin Anwar).

May Allah bless you and may you have a joyous eid celebration
Que Dieu vous bénisse et vous avez une joyeuse eid célébration
Mugia Allah nangtayungan ka anjeun sareng wilujeng boboran

salam,
ikhwan TQN




Friday, October 5, 2007

Rabithah hati

Keutamaan Memandang Wajah Ulama

Mata yang memandang mempunyai pengaruh kuat dan berdampak signifikan terhadap aktivitas batiniyyah kita. Begitu kuatnya pengaruh itu sehingga mempengaruhi kekhusyu’an seseorang untuk beribadah kepada Allah Ta’ala. Syekh Thahir bin Saleh Al-Jazairi dalam kitabnya: Jawahirul Kalamiyah menguraikan sebuah permasalahan:
‘Bagaimana mata mempunyai pengaruh, padahal mata itu hanya termasuk bagian badan manusia yang lembut dan tidak ada hubungannya dengan sesuatu yang dilihat, dan tidak ada sesuatu yang keluar dari mata itu yang berhubungan dengan sesuatu yang dilihat?’ Maka dijawab bahwa tidak ada yang menghalangi jika sesuatu yang lembut itu mempunyai pengaruh yang kuat, dan tidak diisyaratkan bahwa adanya pengaruh itu harus ada hubungannya, karena sesungguhnya kita lihat sebagian manusia yang mempunyai kewibawaan dan kekuasaan bila melihat kepada seseorang dengan pandangan yang mengandung amarah, kadang-kadang menyebabkan yang dipandang itu ketakutan dan gemetar, malah bisa menyebabkan kematiannya. Padahal pada lahirnya ia tidak memasukkan sesuatu pada yang dilihatnya dan tidak terjadi antara yang mempengaruhi dan yang dipengaruhi hubungan ataupun sentuhan. Kalau magnet mempunyai kekuatan dapat menarik besi padahal tidak ada hubungan antara magnet dan besi yang ditariknya itu dan tidak keluar sesuatu yang dapat menyebabkan menariknya itu. Bahkan benda-benda yang lembut lebih besar pengaruhnya daripada benda-benda yang kasar. Karena sesungguhnya perkara-perkara yang besar adalah timbul dari kuatnya kehendak dan niat, sedangkan kehendak dan niat itu termasuk hal yang tidak tampak. Maka tidak mengherankan kalau mata mempunyai pengaruh terhadap yang dipandangnya sekalipun mata itu sangat lembut, dan tidak ada hubungan atau sesuatu yang keluar dari mata itu.
Kekuatan dan kecepatan pengaruh mata dalam memandang telah disinggung oleh Nabi SAW dalam suatu riwayat dari Ibnu Abbas Ra.:
“Pandangan mata adalah suatu kebenaran. Jika ada sesuatu yang dapat mendahului taqdir (ketetapan Allah), maka sungguh pandangan mata akan mendahuluinya”. (HR. Muslim). Karena itulah mata bisa membahayakan, seperti hipnotis, dll. dan Nabi SAW mengajarkan kepada kita suatu do’a:
“Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari setiap syetan, binatang buas, dan pandangan mata yang membahayakan”.
Sari As-Saqathi Rhm. berkata: “Lidahmu adalah penyambung dari hatimu, dan wajahmu adalah cermin darinya. Pada wajahmu ditemukan apa yang ada di dalam hatimu”.[1]
Ketika anak-anak Ya’qub ingin pergi ke Mesir, menemui Yusuf As. yang ketika itu sudah menjadi Perdana Menteri, Ya’qub As. menasehati mereka: “Hai anak-anakku, janganlah kamu bersama-sama masuk dari satu pintu gerbang, masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlainan!” (QS. Yusuf[17]: 67)
Qatadah mengatakan bahwa Ya’qub As. mengkhawatirkan mereka dari bahaya pandangan (Al-‘Ain) orang-orang yang melihat mereka karena anak-anak Ya’qub As. tergolong orang-orang yang tampan dan berpenampilan menarik. Demikianlah Al-Quran mengisahkan tentang isyarat kuatnya pengaruh pandangan terhadap sesuatu yang diinginkan, yang dipahami oleh sebagian orang tertentu yang diberikan pengetahuan tentangnya.
Keutamaan pandangan kepada wajah seorang Ulama banyak sekali, di antaranya sebagaimana disabdakan oleh Nabi SAW:
“Barang siapa memandang kepada wajah orang Alim sekali dengan pandangan yang senang, niscaya Allah menjadikan pandangan tersebut malaikat yang memintakan ampun baginya hingga hari kiamat”. [2]
Imam Al-Hafizh Al-Mundziri meriwayatkan sebuah hadits dari 40 hadits berkenaan dengan keutamaan menuntut ilmu, yakni bersabda Rasulullah SAW:
“Pandangan sekali kepada orang Alim lebih Allah cintai daripada ibadah 60 tahun, berpuasa siang harinya dan berdiri ibadah pada malamnya”. Kemudian sabda beliau SAW: “Jika tiada Ulama niscaya binasa (celaka)lah umatku”.
Hadits tersebut menunjukkan betapa besarnya keutamaan memandang wajah orang Alim secara lahiriyyah, dikarenakan seseorang yang melakukannya akan mendapat pengaruh kekhusyu’an dan ketenangan hati sehingga mendorongnya kepada Hubbul Akhirah. Tidak semua Ulama dikategorikan seperti makna hadits di atas, karena kata ‘Ulama’ menggunakan Isim Makrifah (Al-’Ulamaa-u), yang menandakan ketertentuan/kekhususan. Tentunya Ulama yang dimaksud di sini adalah Ulama yang telah mencapai kemakrifatan yang Hakiki, dimana pancaran jiwanya mampu melenyapkan sekat-sekat yang menutupi hati. Maka Rabithah, yakni memandang wajah Syekh dengan mata hati lebih diutamakan dan memiliki tempat yang khusus di kalangan Ahli-ahli Thariqat, sebagai penyatuan ruhaniyah seorang murid yang dhaif lagi faqir, dengan Syekhnya yang kamil menuju Hadhrat Allah Ta’ala.
Di dalam sebuah hadits dikatakan bahwa ada sebagian ahli dzikir yang dapat menyebabkan orang lain ingat kepada Allah. Yakni dengan memandang wajahnya saja, membuat mereka teringat untuk dzikrullah. Hadits lain menyebutkan bahwa ‘Sebaik-baik orang di antara kamu ialah seseorang yang apabila orang lain memandang wajahnya, maka ia ingat kepada Allah, jika mendengar ucapannya maka bertambah ilmunya, dan jika melihat amal perbuatannya maka tertariklah pada akhirat’.[3] Atas dasar hadits ini para pembimbing dzikir (Syekh Shufi) terdahulu sangat menganjurkan untuk senantiasa mengenang wajah Syekhnya sebagai alat untuk mempermudah dzikir (ingat) kepada Allah SWT, dan yang demikian itu akan membuat dirinya tenggelam dalam lautan mahabbah dzikir-Nya.
Berkata Syekh Mushthafa Al-Bakri Rahimahullaahu Ta’ala:
“Dan di antara apa yang diwajibkan atas seorang murid adalah rabithah hatinya dengan Gurunya dan maknanya bahwa murid senantiasa mengekalkan atas penyaksian akan rupa Syekhnya. Inilah merupakan syarat yang dianjurkan bagi kaum Shufi yang mewariskan kepada maqam makrifat yang tinggi”. (Hidayatus Salikin)

(Dikutip dari Buku ‘DZIKIR QUR’ANI, mengingat Allah sesuai dengan fitrah manusia’)
------------------------------------------------------------
[1] Dr. Javad Nurbakhsy, Psikologi Sufi Pustaka Fajar, (Terj. Del wa Nafs).
[2] Siyarus Salikin, Abd. Shomad Palembani.
[3] Fadhail A’mal (edisi revisi), hal. 154, Maulana M. Zakariyya Al-Kandhalawi Ra.
------------------------------------------------------------
salam,
ikhwan TQN

Thursday, October 4, 2007

Cara Ber-Rabithah

Pengertian dan Cara Berabithah

Adalah merupakan suatu pandangan umum jika kita mengatakan bahwa akal dengan pemikiran positifnya dan juga negatifnya akan mengantarkan manusia melakukan amal perbuatan selaras dengan apa yang dipikirkannya. Ketika seseorang membayangkan pikiran yang kotor/negatif, maka bayangan itu akan mengantarkannya kepada perkara yang tidak suci. Sebaliknya memantapkan suatu bayangan positif dalam alam pikirannya akan mendorongnya kepada amal perbuatan yang bermanfaat. Karena manusia adalah makhluk yang diberi cahaya akal untuk berfikir maka langkah awal adalah berfikir baru menerapkan kepada tindakan.
Manakala bayangan pikiran yang tak semestinya memasuki kedalaman hati manusia, maka pikiran-pikiran negatif dan syaitani akan menyebar benih, yang akan memusnahkan tanaman-tanaman indah hati. Tempatnya kemudian diganti dengan bayangan pikiran jahat. Pada akhirnya hasil-hasil pikiran jahat ini mempersiapkan manusia untuk melampiaskan berbagai bentuk kejahatannya, yang akan menghitamkan hati serta menghancurkan seluruh hidupnya.
Bayangan pikiran itu seperti pohon berkembang yang berangsur-angsur, dan bisa menghasilkan buah yang manis atau pahit. Suatu bentuk bayangan pikiran yang baik adalah merupakan benih yang akan menghasilkan buah perbuatan yang baik dan harum. Dengan senantiasa memelihara bayangan pikiran yang baik, seiring berlalunya waktu, mereka melarikan akar-akar mereka di seluruh penjuru jiwanya dan tumbuh menjadi pohon besar dan kuat.
Melakukan rabithah diumpamakan seperti bercermin. Di hadapan cermin aplikasi perbuatan menyesuaikan diri dengan obyek yang ada di hadapannya. Meskipun sifat atau karakter manusia yang telah terbentuk sulit diubah, tetapi apabila orang melakukan usaha-usaha yang tekun untuk menghapus ciri-ciri yang tak diinginkan itu maka keutamaan dan kebajikan secara alami menghampirinya. Untuk itu diperlukan pemusatan perhatian kepada nilai-nilai kebaikan/terpuji, termasuk bayangan kepribadian yang bisa menjadi self-suggestion di setiap waktu dan tempat.
************
Rabithah artinya ikatan atau berhubungan, yang berarti proses terjadinya hubungan atau ikatan ruhaniyah antara seorang murid dengan Guru Mursyidnya. Mengikat atau menghubungkan diri dengan Manajemen Vertikal (Ilahiyah) seperti yang diungkapkan Al-Quran:
“Wahai orang-orang yang memiliki iman, bersabarlah! jadikanlah kesabaran atasmu, berabithahlah (agar diteguhkan), dan takutlah kepada Allah, mudah-mudahan engkau termasuk orang-orang beruntung”. (QS. Ali Imran[3]: 200)
Melakukan rabithah mengandung makna menghadirkan/ membayangkan rupa Syekh atau Guru Mursyidnya yang Kamilah di dalam fikiran ketika hendak melaksanakan ibadah, lebih khusus ketika berdzikir kepada Allah Ta’ala.
Menurut beberapa Ulama shufi, berabithah itu lebih utama daripada dzikirnya seorang Salik. Melaksanakan rabithah bagi seorang murid lebih berguna dan lebih pantas daripada dzikirnya, karena Guru itu sebagai perantara dalam wushul ke hadirat Allah Jalla wa ‘Alaa bagi seorang murid. Apabila bertambah rasa dekat dengan gurunya itu, maka akan semakin bertambah pula hubungan batinnya, dan akan segera sampai kepada yang dimaksud, yakni makrifat. Dan seyogyanya bagi seorang murid harus Fana dahulu kepada Guru Mursyidnya, sehingga akan mencapai Fana dengan Allah Ta’ala”.[1]
Menurut Syekh Muhammad bin Abdulah Al-Khani Al-Khalidi dalam kitabnya Al-Bahjatus Saniyyah hal. 43, berabithah itu dilakukan dengan 6 (enam) cara:
1. Menghadirkannya di depan mata dengan sempurna.
2. Membayangkan di kiri dan kanan, dengan memusatkan perhatian kepada ruhaniyahnya sampai terjadi sesuatu yang ghaib. Apabila ruhaniyah Mursyid yang dijadikan rabithah itu tidak lenyap, maka murid dapat menghadapi peristiwa yang akan terjadi. Tetapi jika gambarannya lenyap maka murid harus berhubungan kembali dengan ruhaniyah Guru, sampai peristiwa yang dialami tadi atau peristiwa yang sama dengan itu, muncul kembali. Demikianlah dilakukan murid berulang kali sampai ia fana dan menyaksikan peristiwa ghaib tanda Kebesaran Allah. Dengan berabithah, Guru Mursyidnya menghubungkannya kepada Allah, dan murid diasuh dan dibimbingnya, meskipun jarak keduanya berjauhan, seorang di barat dan lainnya di timur. Selain itu akan membentenginya dari pikiran-pikiran yang menyesatkan sehingga memicu pintu ruhani yang batil memasuki dirinya (baik ruhani-ruhani ataupun i’tikad-i’tikad yang batil),
3. Menghayalkan rupa Guru di tengah-tengah dahi. Memandang rabithah di tengah-tengah dahi itu, menurut kalangan ahli Thariqat lebih kuat dapat menolak getaran dan lintasan dalam hati yang melalaikan ingat kepada Allah Ta’ala.
4. Menghadirkan rupa Guru di tengah-tengah hati.
5. Menghayalkan rupa Guru di kening kemudian menurunkannya ke tengah hati. Menghadirkan rupa Syekh dalam bentuk keempat ini agak sukar dilakukan, tetapi lebih berkesan dari cara-cara sebelumnya.
6. Menafikan (meniadakan) dirinya dan mentsabitkan (menetapkan) keberadaan Guru. Cara ini lebih kuat menangkis aneka ragam ujian dan gangguan-gangguan.
Dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin, karangan Sayyid Abdurrahman bin Muhammad disebutkan: “Perkataan seorang mukmin yang menyeru ‘Wahai Fulan’ ketika di dalam kesusahan, termasuk dalam tawasul yang diseru kepada Allah. Dan yang diseru itu hanya bersifat majaz bukan hakikat. Makna ‘Wahai Fulan! Aku minta dengan sebabmu pada Tuhanku, agar Dia melepaskan kesusahanku atau mengembalikan barangku yang hilang dariku, yang diminta dari Allah SWT. Adapun yang diucapkan kepada Nabi/Wali menjadi sebagai majaz (kiasan) dan penghubung, maka niat meminta kepada Nabi/Wali hanyalah sebagai sebab saja.
Dan diucapkan pada syara’ dan adat, contohnya adalah seperti permintaan tolong kita kepada orang lain: ‘tolong ambilkan barang itu’. Maka apa yang sebenarnya adalah kita meminta tolong dengan sebab orang tadi, hakikatnya Tuhan Yang Kuasa atas segala sesuatunya. Apabila kita meyakini orang itu mengambil sendiri secara hakikatnya, maka barulah boleh dikatakan syirik. Maka begitu pulalah berabithah itu sebagai sebab yang menyampaikan bukan tujuan.
Berbicara mengenai sebab, telah banyak ayat Al-Quran dan Hadits Qudsi yang menyatakan bahwa segala perkara yang dibutuhkan manusia dan makhlukNya didapat dan dikaruniakan oleh Allah Yang Kuasa, apakah itu makanan, minuman, pakaian, rizki, kesembuhan, dan sebagainya. Maka untuk kesemuanya itu perlu adanya sebab yang menyampaikan. Penyampaiannya bisa cepat atau lambat. Dan seseorang yang menerima rizki dari seseorang lainnya, sepantasnyalah berterimakasih kepadanya sebagai adab atas penyampaian rizkinya itu. Begitu pulalah seseorang meminta akan sesuatu hanya kepada sahabat atau lainnya, tentu ada adab-adab atau tatacara tertentu yang harus dilakukan, agar hajatnya itu terpenuhi sesuai dengan kehendaknya. Dan tidak hanya lahiriyyah saja, perkara-perkara ruhaniyahpun memiliki adab atau tatacaranya, agar tercapai penyampaian maksudnya ke Hadhirat Allah Yang Suci.
Maka penyampaian kehendak seseorang hamba kepada lainnya, yakni yang membutuhkan sesuatu selain Allah adalah suatu bentuk majaz bukan hakikat. Kalau ia beri’tiqad memohon secara hakikat, maka jadilah syirik yang menyekutukan Tuhannya.
Syekh Muhammad Amin Al-Kurdi Al-Irdibiy Rhm. mengatakan:
“Sesungguhnya rasa dekat dengan Syekh Mursyid bukan dikarenakan dekat zatnya, dan bukan pula karena mencari sesuatu dari pribadinya, tetapi karena mencari hal-hal yang dikaruniakan oleh Allah kepadanya (kedudukan yang telah dilimpahkan Allah atasnya) dengan mengi’tiqadkan (meyakini) bahwa yang membuat dan yang berbekas hanya semata-mata karena Allah Ta’ala seperti orang faqir berdiri di depan pintu orang kaya dengan tujuan meminta sesuatu yang dimilikinya sambil mengi’tiqadkan bahwa yang mengasihi dan memberi nikmat hanya Allah yang mempunyai gudang langit dan bumi, serta tidak ada yang menciptakan selain dari-Nya. Alasan ia berdiri di depan pintu rumah orang kaya itu karena ia meyakini bahwa di sana ada salah satu pintu nikmat Allah yang mungkin Allah memberikan nikmat itu melalui sebab orang kaya itu”. (Tanwirul Qulub : 527)
Dalam kitab Mafaahiim Yajiibu an Tus-haha karangan Syekh Muhammad ‘Alawi Al-Maliki Al-Hasani bahwa Al-Hafizh Ibnu Katsir menyebutkan:
“Sesungguhnya syi’ar kaum muslimin dalam peperangan Yamamah adalah: ‘Wahai Muhammad! (tolonglah kami)”.
Rasulullah SAW bersabda:
“Jika telah menyesatkan akan kamu sesuatu atau ingin minta pertolongan, sedangkan dia berada di satu bumi yang tidak ada padanya kawan, maka hendaklah dia berkata: ‘Wahai hamba Allah, tolonglah aku!’ Maka sesungguhnya bagi Allah itu ada hamba-hamba yang tidak dapat dilihat. Dan sungguh terbuktilah yang demikian itu”. (HR. Thabrani)
Dan lagi sabda Rasulullah SAW:
“Sesungguhnya Allah memiliki malaikat selain Hafazhah yang menulis apa-apa yang jatuh dari pohon. Maka apabila menimpa kepincangan di bumi yang luas, hendaklah dia menyeru: ‘Tolong aku, wahai hamba Allah”. (HR. Thabrani)
Firman Allah menyebutkan:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. An-Nisa‘[4]: 59)
Ulil Amri yang kita patuhi adalah orang yang menjalankan syari’at Islam, bukan orang yang di luar kriteria itu, dan bukanlah pemimpin yang membawa kepada selain sistem yang diajarkan Nabi kita SAW.
Dikisahkan ketika anak-anak Ya’qub As. merasa bersalah (karena berusaha mencelakakan Yusuf As.), mereka semua menghadap orang tuanya, dan memohon kepada Ya’qub As. “Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)”. Ya’qub berkata, “Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dialah Yang Pengampun lagi Penyayang (kepada seluruh hamba-Nya)”. (QS. Yusuf[12]: 96-98). Inilah salah satu bukti bahwa permohonan do’a ampunan tidak hanya dilakukan si pemohon, tapi dapat dimintakan tolong kepada seseorang yang dianggap shaleh atau dekat kepada Allah SWT.

(Dikutip dari Buku ‘DZIKIR QUR’ANI, mengingat Allah sesuai dengan fitrah manusia’)
-------------------------------------------------------------------
[1] (Al-Fuyudhatur Rabbaniyyah: 26)
salam,
ikhwan TQN

Landasan bertawasul dan rabithah

PENDAHULUAN

Dua masalah ini merupakan salah satu bentuk pengetahuan dzikir yang diterapkan di dalam Tasawuf (kalangan Shufi). Tasawuf, kalau kita telusuri sejarahnya adalah dikembangkan dari salah satu di antara 3 pijakan dasar pokok ajaran dalam Islam, yaitu: Rukun Iman, Rukun Islam dan Rukun Ihsan. Tasawuf di sini merupakan pengembangan dari ilmu keihsanan.
Pembahasan Rabithah dan tawasul ini bisa dikatakan materi yang pelik dan memerlukan perhatian yang cukup serius untuk menguraikannya, karena sering diiringi dengan tuduhan-tuduhan kemusyrikan bagi yang mengamalkannya. Hal ini sudah banyak kontroversi/fitnah yang terjadi sejak zaman dahulu, antara pengamal Tasawuf yang mengamalkan Rabithah & Tawasul dengan kaum zhahiri, yang lebih mengedepankan naskah tekstual dalam pengamalan agamanya.
Rabithah atau tawasul dicetuskan oleh para Syekh Mursyid terdahulu ketika tasawuf sedang berkembang menjadi suatu disiplin keilmuan dalam Islam, sebagaimana mengkristalnya kodifikasi hukum Islam dengan sebutan Ilmu Fiqih. Keduanya hanyalah merupakan metode/teknis atau bagian pengajaran Syekh Mursyid kepada murid-muridnya di dalam menempuh Thariqat (jalan).
Problematika tawasul atau rabithah didasari kenyataan bahwa konsep peribadatan (menyembah) hanya kepada Allah (Laa ma’buuda illallaah) didukung oleh penafsiran yang keliru terhadap makna ayat dalam Surat Al-Fatihah yang sering kita baca berulang-ulang, yakni: Iyyaaka na’budu wa iyyaaka nasta’iin, yang diartikan atau ditafsirkan oleh kebanyakan orang dengan ‘Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah dan hanya kepada Engkau-lah kami memohoon pertolongan’.
Menurut hemat kami, penafsiran tersebut didasari kekhawatiran para mufassirin akan firman Allah yang tidak membukakan ‘pintu ma’af’ kepada orang-orang yang menyekutukan-Nya:
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa orang yang menyekutukan-Nya, tetapi Dia mengampuni dosa-dosa selain itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya”. (QS. An-Nisa[4]: 48)
Mereka yang bertempat pada pemahaman ini tidak mampu menterjemahkan dengan pola penjabaran yang didasari makna-makna harfiyah kalimat tersebut, sehingga penjelasan tiadanya ampunan sama sekali bagi hamba yang menyekutukan-Nya ini menggugurkan penafsiran makna ‘Iyyaaka’ yang sesungguhnya.
Alangkah naifnya jika kita hanya mengakui bahwa hanya Allah saja sebagai tempat kita meminta dan taat. Bukankah kita senantiasa meminta kepada manusia lainnya. Dan tidak perlukah kita mentaati perintah orang tua atau Guru kita? Kita harus kritis dengan ayat ini yang bisa menafikan bentuk pemahaman yang sesungguhnya. Ayat lainnya jika dipertemukan akan berbenturan misi dan fungsi. Di satu sisi kata ‘hanya’ membatasi bentuk ketergantungan hanya kepada Allah dengan tidak memberi ruang kepada segmen lainnya, sedang di ayat lainnya mengandung perintah untuk mentaati makhluk-Nya.
Kata ‘Iyyaaka’ mengandung makna etimologis ‘akan Engkau’ yang berarti ada rentang perjalanan yang harus dicapai. Tidak bisa dituju langsung dengan menggunakan makna ‘hanya Engkau’. Ada pengurang makna yang besar sekali dalam hal ini.
Pemahaman kaku yang menggiring orang ‘enggan menoleh’ kepada makna harfiyah ayat ini menyebabkan ganjalan bagi mereka untuk memasuki kepada pintu pembahasan tawasul atau rabithah.
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah engkau kepada Allah dan carilah wasilah sebagai jalan mendekatkan diri kepadaNya dan bermujahadahlah di jalanNya, semoga engkau termasuk orang-orang yang beruntung”. (QS. Al-Maidah[5]: 35)
Melalui ayat ini Allah hendak menyampaikan pesan-pesan Manajemen atau Birokrasi Ilahiyyah, yang harus dipahami oleh setiap manusia yang menghargai adab atau etika dalam beribadah kepada tatanan Kerajaan langit-Nya. Berkenaan masalah Manajemen Ilahiyah ini Insya Allah kita akan bahas pada materi yang khusus.
Umat Islam sejak 14 abad ditinggalkan masa kepemimpinan Nabi SAW telah membentuk sendiri golongan-nya masing-masing (hal ini telah diprediksi oleh Nabi SAW bahwa umat beliau di akhir zaman berpecah belah), sehingga kenyataan ini menyulitkan banyak pemerhati keislaman bahwa manakah di antara golongan-golongan itu yang terlebih benar, baik kemurnian ajaran aqidah atau pengamalan dalam peribadatannya. Usaha atau Ijtihad apapun yang dikerahkan para Ulama maupun Mufassirin belum mampu memonitor dengan pasti mengenai masalah ini.
Dampak yang sejalan dengan kenyataan itu, menimbulkan banyak versi pemahaman atau pengamalan dalam Islam, termasuk bentuk-bentuk cara memahami atau menafsirkan ayat-ayat suci dan hadits-hadits Nabi SAW.
Selanjutnya di antara umat dan tokoh Islam yang berada di luar keberpihakan dengan ilmu Tasawuf kebanyakan bersikap kaku atau sempit dalam memahami Islam yang bersifat luas/eksternal dan eternal/berkesinambungan. Hal ini menyebabkan kondisi sekarang ini terjadi kekacauan dan perselisihan yang tidak henti di antara mereka yang tidak menyadari kesalahan di antara mereka. Apalagi di zaman globalisasi sekarang ini transformasi berita yang positif dan negatif dengan teknis propagandanya masing-masing, kenyataannya sudah tidak seimbang. Propaganda keburukan yang memicu kejahatan dalam kehidupan ini lebih dominan daripada propaganda kebaikan.
Di kalangan Ulama yang menekankan integritas keilmuan/keahliannya dalam menghafal dan mengkaji teks-teks dasar agama zhahir, sering menangguhkan atau tidak memandang penafsiran atau ijtihad Ulama kaum Shufi. Padahal kaum Shufi yang mereka tuding sebagai orang-orang yang tersesat, adalah orang-orang yang berusaha zuhud, wara’ dalam aqidah maupun ibadahnya, mereka merasa takut ibadahnya tidak diterima oleh Allah SWT, bahkan merekalah yang mendapatkan bimbingan Allah dan Rasul-Nya hingga hari kiamat.
Al-Quran dan Al-Hadits itu sepenuhnya akan senantiasa memberikan bimbingan kepada umat di setiap zaman. Di dalamnya akan membuahi hikmah-hikmah sebagai solusi umat, melalui para Mursyid. Mursyid yang dimaksud bukanlah pembimbing yang tidak jelas asal-usulnya, melainkan harus memiliki darah/nasab dari Rasulullah. Dan inipun tidak cukup, karena tidak semua nasab masuk ke dalam kategori yang layak sebagai pemimpin. Bahkan mereka betul-betul mendapatkan kesaksian/mandat secara estafet dalam thariqat-nya, serta prilakunya senantiasa memperlihatkan Uswatun Hasanah, arif dan bijaksana dalam mengambil suatu keputusan.
Allah berfirman dalam Al-Quran:
“Kemudian Kami wariskan kitab itu kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar”. (QS. Fathir[35]: 32)
Jelas di dalam ayat ini Allah menegaskan ‘Kami pilih di antara hamba-hamba Kami’, yakni orang-orang pilihan Allah yang diwariskan pengetahuan tentang agama ini. Dan ditegaskan lagi:
“Kemudian Kami jadikan kamu pengganti-pengganti (Khalifah) mereka di muka bumi sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu perbuat”. (QS. Yunus[10]: 14)
“Dan bagi tiap-tiap kaum itu ada orang memberi petunjuk” (QS. Ar-Ra’d[13]: 7)
“Di setiap umat itu mempunyai utusan (Allah)” (QS. Yunus[10]: 47)
Berdasarkan penjabaran ayat-ayat tersebut, maka ijtihad para Mursyid/para pengganti Rasul lebih utama untuk dijadikan rujukan dalam memberikan solusi atau jalan kemudahan kepada umat. Dan tidak sembarang orang dapat melakukan ijtihad untuk memberikan solusi kepada umat di masanya. Keabsahan ijtihad itu sendiri didasari firman Allah:
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh)”. (QS. Ar-Ra’d[13]: 39)
“Allah menganugerahkan Al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa-siapa yang Dia kehendaki”. (QS. Al-Baqarah[2]: 269)
Di kalangan penganut tasawuf tetap meyakini bahwa bimbingan Rasulullah kepada umatnya tidak terhenti dengan wafatnya beliau SAW. Hal ini dilegitimasi oleh ayat Al-Quran yang berbunyi:
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya”. (QS. Al-Baqarah[2]: 154)
Dalam ayat lain dikatakan:“Bahkan mereka itu hidup, di sisi Tuhannya mereka diberi rizki”. (QS. Ali Imran[3]: 169)
Demikianlah landasan-landasan pengetahuan bertawasul dan rabithah.

(Dikutip dari Buku ‘DZIKIR QUR’ANI, mengingat Allah sesuai dengan fitrah manusia’)

salam,
ikhwan TQN

Tentang Dzikir (2)

Seputar Ahwal Jadzbah orang yang Berdzikir

Orang yang banyak dan kontinyu dalam menyebut nama Allah adalah bagian dari wujud cinta (Mahabbah) kepada-Nya, sebab dikatakan apabila seseorang yang cinta terhadap sesuatu akan banyak menyebut-nyebutnya. Banyak berdzikir adalah dianjurkan sekali dan diisyaratkan sebagai jembatan yang utama untuk menghampiri-Nya. Salah satu tanda mahabbah adalah tergila-gila, demikian pula yang harus dicapai dalam dzikir (mengingat)-Nya. Dari Abu Sa’id al Khudri Ra. Rasulullah SAW bersabda:
“Hendaklah kalian berdzikir kepada Allah sebanyak-banyaknya sehingga orang-orang mengatakan gila”. (HR. Ahmad, Abu Ya’la, Ibnu Hibban, Hakim)
Dan juga Rasulullah SAW bersabda lewat riwayat dari Ibnu ’Abbas Ra.:
“Hendaklah kalian berdzikir sebanyak-banyaknya sehingga orang-orang munafik menganggap kami ahli riya”. (HR. Thabrani dan Baihaqi) [1]
Orang yang berdzikir dengan melibatkan seluruh jiwa raganya berarti ia telah mengungkapkan mahabbah kepada-Nya. Apabila seseorang mencapai mahabbah yang sempurna maka ia akan menarik pecinta kepada yang dicinta. Sifat mahabbah yang sempurna ini dapat melenyapkan perilaku-perilaku yang dicegah bagi pecinta.
Ada kalanya seseorang mengalami jadzbah[2], yaitu suatu tarikan Ilahiyah yang terjadi dalam dirinya. Kejadian tersebut diawali dengan adanya interaksi hati yang diungkapkan sebagai pernyataan-pernyataan hati. Hatinya menyampaikan kalimat-kalimat penegasan untuk melakukan sesuatu yang di luar kebiasaan yang lazim (meski dasar penegasannya berdasarkan dalil yang Haq), tetapi hal demikian bagi orang lain yang melihatnya menganggap ia seperti ‘gila’.
Syekh Abu Sa’id Al-Kharraz mengatakan: “Sesungguhnya Allah SWT men-jadzbah (menarik) ruhnya para Awliya’ kepada-Nya, merasakan nikmat dengan dzikir dan wushul (sampai) kepada-Nya, dan mempercepat kesenangan terhadap segala sesuatu pada badan-badan mereka. Kehidupan fisik jasmani mereka bagaikan kehidupan hewan. Sedangkan kehidupan ruhaniyahnya bagaikan dalam kehidupan Tuhan”.[3]
Perbandingan orang yang mengalami jadzbah dengan orang gila bisa dilustrasikan sebagai berikut: Ada dua orang yang sama-sama tertawa kegirangan, dengan menggerakkan tubuhnya ke sana kemari tak beraturan. Orang pertama kegirangan karena ia melihat televisi, dan menyaksikan tim sepakbola kesayangannya meraih kemenangan. Namun posisi televisi itu terletak di bawah tangga rumah sehingga tidak tampak terlihat dari luar ruangan. Dalam keadaan seperti itu, ada orang lain yang melihat orang tadi tertawa sendirian dan terbahak-bahak, menyangkanya gila, padahal orang itu sedang menonton televisi. Orang yang pertama adalah perumpamaan orang yang sedang jadzbah (majdzub), gila dengan sebab. Sedangkan orang kedua yang tertawa dan menggerakkan tubuhnya tanpa sebab apapun, disebut sebagi orang yang gila sebenarnya.[4]
Di antara sebab-sebab kondisi majdzub itu terjadi adalah karena ia tidak mampu mengkondisikan atau melakukan adab-adab dzikir yang sesungguhnya. Maka ketika tarikan Ilahiyyah itu datang ia segera melepaskan dirinya begitu saja, sehingga ia larut dalam keasyikan dzikirnya. Keadaan inilah yang kemudian tidak mampu ia kendalikan, Kondisi tarikan semacam ini sebenarnya sebagaimana tarikan-tarikan yang timbul dari suatu dakwah/ajakan yang mempengaruhi dirinya, serta merta ia mengikuti saja tanpa berusaha bertahan dan menyikapinya dengan daya kontrol yang optimal.
Tarikan Nur Ilahi itu berusaha mencari tempat dalam dirinya, mendesak pernik-pernik kebatilan yang sudah ada dalam jiwanya, maka tampaklah gejolak batin itu melampiaskan benturan-benturan jiwa yang sedang terjadi. Ibarat cahaya yang berusaha menembus ruangan gelap, yang pada akhirnya ruangan yang gelap itu seluruhnya tertelan oleh cahaya IIahi yang masuk ke dalamnya, baik diusahakan maupun di luar kehendak dirinya.
Pertarungan khatir atau bisikan-bisikan yang datang dan pergi dalam dirinya menyebabkan adanya dua pilihan yang harus ia lakukan, membiarkan atau melawannya. Kalau ia biarkan maka dorongan Ilahiyah itu akan terus menghantui setiap gerak langkahnya kemanapun ia pergi, apabila hal ini ia pertahankan akan menyebabkan ketidakseimbangan ruang gerak kehidupan normalnya. Kalau ia melawannya, berarti ia akan kembali kepada posisi sediakala. Kondisi jadzbah ini bisa kembali normal jika orang yang mengalaminya mempunyai fisik yang sehat, tidak seperti orang yang berfisik lemah yang pengembalian kondisi kepada posisi yang normal membutuhkan waktu yang cukup lama. Yang lebih parah sebenarnya bila seorang majdzub ini tidak mempunyai Guru Mursyid yang jelas, sehingga apa yang dilakukannya adalah berdasarkan kehendak atau selera dirinya. Hal ini akan sulit diubah menjadi keadaan yang lebih baik.
Pergulatan orang yang mengalami jadzbah sesungguhnya medan jihad akbar bagi dirinya, namun orang lain tidak mengetahuinya. Apabila ia wafat dalam jihadnya tersebut maka ia meninggal dalam keadaan husnul khatimah (Ridha Allah), jika dalam bimbingan seorang Mursyid, karena konsistennya ingin senantiasa dekat dengan Allah Ta’ala.
Jalan yang preventif dalam masalah ini adalah mendahulukan (mengutamakan) adab-adab syari’at mengetahui kaidah-kaidah dalam beribadah/dzikir pada dirinya agar terjadi suatu keseimbangan antara jasmani dan ruhani, terutama bagi orang yang baru menapaki (salik) di atas jalan dzikir.
Orang yang dikatakan gila sebenarnya dikarenakan dua faktor, yaitu: (pertama) karakter kejiwaannya lemah, dan (kedua) fisiknya lemah. Kegilaan yang dimaksud adalah bukan kegilaan mental seperti yang banyak orang katakan tetapi kegilaan di sini disebabkan adanya suatu tarikan Ilahiyah di saat ia belum mendapatkan tempaan ajaran syari’at yang cukup. Sebelum menyentuh ‘alam kegilaannya’ ia sudah terkondisikan di alam kebatilan.
Pada saat terjadinya suatu tarikan Ilahiyah itulah seakan-akan ia melakukan perlawanan, di antaranya munculnya semacam bisikan (khatir) hati atau telinganya untuk melakukan perilaku-perilaku yang berada di luar syari’at. Ketika tahalli[5] dan takhalli[6]-nya belum sempurna proses tajalli[7] menyebabkan ia mabuk, dan mengalami ketidakseimbangan pada dirinya.
Perumpamaan seperti Al-Hallaj, Syekh Siti Jenar, dan lainnya adalah orang-orang yang tidak mampu mengendalikan syari’atnya ketika ekstase, karena keadaan mereka lebih dominan mengedepankan adab hakikat. Di antara mereka banyak mengklaim mengalami suasana Wahdatul Wujud[8] (kebersatuan dengan Tuhan). Para Shufi yang mengalami keadaan seperti mereka berdua amal ibadahnya, yakni dzikir atau saliknya hanya berfungsi atau memberi manfaat bagi dirinya sendiri, tidak sebagaimana para Nabi dan para Mursyidun, yang bersifat Tabligh (setelah menerapkan Quu Anfusakum wa Ahliikum Naaroo bagi dirinya). Para pemimpin umat di setiap masa biasanya selalu mengedepankan keseimbangan adab syari’at dan hakikat.
Orang yang mengalami ekstase (Fana) seperti ini berbeda dengan gila pada umumnya. Yang membedakannya adalah:


GILA (MAJDZUB)
1 Dapat diajak komunikasi dengan teratur
2 Bisa sembuh, dan tidak menampakkan bekas dalam kondisi normal
3 Jika ia memperoleh proses tajalli dengan waktu yang lama, ia akan mencapai makrifat yang
benar, dengan syarat dibimbing oleh seorang Mursyid
4 Dalam proses tajalli ini, seorang majdzub dalam naungan Ridha Allah SWT

GILA DUNIA

1 Tidak dapat diajak bicara dengan benar (ngawur)

2 Bisa sembuh, kelihatan bekas-bekas kegilaannya

3 Hanya ingin memperturutkan hawa nafsunya saja, kehidupannya seperti hewan karena
sudah kehilangan akal yang berarti hilang ruh Rabbaniyah dalam dirinya.

4 Kehidupannya tak ubahnya seperti manusia biasa yang mengikuti kebiasaan-kebiasaannya
sebelum ia gila.


Kedua ahwal jadzbah tersebut tidak dibebani hukum syari’at (mukallaf) atasnya, dan juga tidak pantas mengemban suatu bentuk kepemimpinan, karena dominasi akal telah hilang dalam dirinya.
Selain itu semua ada pula yang memiliki jiwa yang kuat dalam proses tajalli-nya, sehingga ia tidak menampakkan gejolak-gejolak yang dapat berbenturan dengan iklim kehidupan natural (alami). Ia mampu menciptakan keseimbangan karena peristiwa berupa ekstase itu dapat ia kendalikan, dan hanya terjadi pada waktu-waktu tertentu saja, seperti: histeris ketika dibacakan ayat-ayat Al-Quran yang menyentuh jiwanya.
Orang-orang utama seperti para Nabi, Mursyidun[9] juga mengalami jadzbah berupa kehadiran ruh-ruh Ilahi, namun hal demikian tidak tampak secara nyata (lahir). Hal ini disadari ketika ia berkata-kata atau menyampaikan hukum-hukum Ilahi di luar kemampuan dirinya yang sebenarnya. Bekas-bekas kejadian tersebut begitu nyata dialami oleh para Mursyidun sebagaimana yang dialami oleh para Nabi sesudah menerima wahyu, misalnya keringat membasahi sekujur tubuhnya, rasa lelah seakan mendapat beban yang berat, dsb. Ciri-ciri komunikasi Ilahiyah ini tidak seperti orang kebanyakan di kalangan ahli-ahli kegaiban umum (supra natural), apalagi terjadi di setiap saat. Karena peristiwa llahiyah semisal mukjizat saja terjadi pada waktu-waktu tertentu. Hal ini menandakan komunikasi ini begitu tinggi nilainya dan tidak sembarang orang memunculkan dengan keinginannya sendiri.

(Dikutip dari Buku ‘DZIKIR QUR’ANI, mengingat Allah sesuai dengan fitrah manusia’)
---------------------------------------------------------------------------------
[1] Tersebut pula di dalam kitab Tafsir Durrul Mantsur, karangan Syekh Jalaluddin As-Suyuthi.
[2] Orang yang mengalaminya disebut majdzub.
[3] In’amuzzahidin Mashudi, MA.,Wali Sufi Gila, Ar-Ruzz, Cet I, hal 40.
[4] Ibid., hal. 41
[5] Tahalli artinya mengisi jiwa dengan perilaku-perilaku positif (mahmudah).
[6] Takhalli artinya mengosongkan jiwa dari perilaku-perilaku negatif (madzmumah).
[7] Al-Imamul Kamil Muhyil Haq wad Din Abu Abdillah Muhammad bin Ali (Ibnu ’Arabi)
mendefinisikan tajalli dengan:
“Apa-apa yang terbuka bagi segala hati, daripada nur-nur yang ghaib”.
[8] Ragam istilah ini banyak sekali, misalnya Manunggaling Kawula Gusti, Hulul, dsb.
[9] Para Guru-guru Shufi.

salam,
ikhwan TQN

Tentang Dzikir (1)

Berdzikir Membutuhkan
Pembimbing Spiritual

Ekses-ekses dzikir bagi orang yang menekuninya adalah banyak sekali. Di antaranya adalah menangis, menjerit, mengalami ekstase (Fana), jadzbah (ditarik), sakar (mabuk), dsb. Kesemuanya dapat menimbulkan ekses lainnya (yang tidak menguntungkan dirinya atau orang lain), apabila ia tidak meneliti dahulu pengetahuan tentang itu menjelang ‘keberangkatannya’ ke medan dzikir.
Kita tidak tahu bagaimana medan dzikir yang sebenarnya, atau apa yang akan kita hadapi ketika kita ‘diundang’ memasuki alam ghaib, atau didudukkan pada suatu maqam di sisi-Nya. Tidak semua orang mengerti perjalanan ini kecuali orang yang pernah merasakannya, yakni seorang Mursyid ‘Arif Billah yang mempunyai legitimasi Ilahiyah. Dalam hal ini pernah Rasulullah SAW isyaratkan kepada kita bahwa:
“Hendaklah engkau bersama Allah, dan jika tiada mampu, maka jadikan dirimu bersama-sama dengan orang-orang yang bersama Allah (‘Arif Billah). Dan sesungguhnya dia akan menyampaikan engkau kepada Allah, jika engkau bersamanya”. (HR. Abu Daud)
Seorang pembimbing laksana seorang Imam bagi makmum atau tongkat penuntun bagi seorang yang buta, wasilah (perantara) kepada Allah SWT dalam segenap aktivitasnya dalam mencari keridhaan Allah SWT. Allah mengumandangkan salah satu firman-Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah engkau kepada Allah dan carilah wasilah sebagai jalan mendekatkan diri kepadaNya dan bermujahadahlah di jalanNya, semoga engkau termasuk orang-orang yang beruntung”. (QS. Al-Maidah[3]: 35)
Syekh Abdul Qadir Al-Jilani Qs. mengatakan:
“Adapun wajiblah atas setiap manusia itu mencari penerang hatinya di akhirat (yang mengharapkan wushul [sampai dengan selamat] kepada Allah) yakni Guru Mursyid dari kalangan ahli talqin selagi masih hidup di dunia sebelum habisnya waktu (mati)”.
Seorang Syekh pembimbing dzikir seperti pengganti Rasulullah SAW di dalam membimbing umatnya. Syekh pembimbing dzikir mestilah ada hubungan keruhanian dengan Rasulullah SAW, yaitu orang yang benar-benar mewarisi ilmu dan keadaannya Rasulullah SAW itu. Syekh inilah yang akan menuntunnya kepada jalan yang shahih atau memperingatinya ketika ia dalam keadaan tersesat jalan (cara) dzikirnya.
Di dalam sebuah hadits dikatakan bahwa ada sebagian ahli dzikir yang dapat menyebabkan orang lain ingat kepada Allah. Yakni dengan memandang wajahnya saja, membuat mereka teringat untuk dzikrullah. Hadits lain menyebutkan bahwa ‘Sebaik-baik orang di antara kamu ialah seseorang yang apabila orang lain memandang wajahnya, maka ia ingat kepada Allah, jika mendengar ucapannya maka bertambah ilmunya, dan jika melihat amal perbuatannya maka tertariklah pada akhirat’.
[1] Atas dasar hadits ini para pembimbing dzikir (Syekh Shufi) terdahulu sangat menganjurkan untuk senantiasa mengenang wajah Syekhnya sebagai alat untuk mempermudah dzikir (ingat) kepada Allah SWT, dan yang demikian itu akan membuat dirinya tenggelam dalam lautan mahabbah dzikir-Nya.

(Dikutip dari Buku ‘DZIKIR QUR’ANI, mengingat Allah sesuai dengan fitrah manusia’)

----------------------------------------------------------------------------------
[1] Fadhail A’mal (edisi revisi), hal. 154, Maulana M. Zakariyya al Kandhalawi Ra.

Salam,
Ikwan TQN

Wednesday, October 3, 2007

Tokoh Islam abad 15H (Abah Anom)

Pangersa Abah (Abah Anom Suryalaya)
Category: Abad 15, Tokoh Islam
Pendiri Pesantren Inabah, Suryalaya

Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin adalah nama asli Abah Anom. Lahir 1 Januari 1915 di Suryalaya, Tasikmalaya. Ia anak kelima dari Syekh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad, atau Abah Sepuh, pendiri Pesantren Suryalaya. Sebuah pesantren tasawuf yang khusus mengajarkan Thariqat Qadiriyyah Naqsabandiyah (TQN).
Ia memasuki bangku sekolah dasar (Vervooleg school) di Ciamis, pada usia 8 tahun. Lima tahun kemudian melanjutkan ke madrasah tsanawiyah di kota yang sama. Usai tsanawiyah, barulah ia belajar ilmu agama Islam, secara lebih khusus di berbagai pesantren.
Ia keluar masuk berbagai macam pesantren yang ada di sekitar Jawa Barat seperti, Pesantren Cicariang dan Pesantren Jambudwipa di Cianjur untuk ilmu-ilmu alat dan ushuluddin. Sedangkan di Pesantren Cireungas, ia juga belajar ilmu silat. Minatnya untuk belajar silat diperdalam ke Pesantren Citengah yang dipimpin oleh Haji Djunaedi yang terkenal ahli “alat”, jago silat dan ahli hikmat.
Kegemarannya menuntut ilmu, menyebabkan Abah Anom menguasai berbagai macam ilmu keislaman pada usia relatif muda (18 tahun). Didukung dengan ketertarikannya pada dunia pesantren, telah mendorong ayahnya yang dedengkot Thoriqot Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN) untuk mengajarinya dzikir TQN. Sehingga ia menjadi wakil talqin ayahnya pada usia relatif muda.
Mungkin sejak itulah, ia lebih di kenal dengan sebutan Abah Anom. Ia resmi menjadi mursyid (pembimbing) TQN di Pesantren tasawuf itu sejak tahun 1950. Sebuah masa yang rawan dengan berbagai kekerasan bersenjata antar berbagai kelompok yang ada di masyarakat, terutama antara DI/TII melawan TNI.
“Tasawuf tidak hanya produk asli Islam, tapi ia telah berhasil mengembalikan umat Islam kepada keaslian agamanya pada kurun-kurun tertentu,” tegas Abah Anom, tentang eksistensi tasawuf dalam ajaran Islam.
Tasawuf yang dipahami Abah Anom, bukanlah kebanyakan tasawuf yang cenderung mengabaikan syari’ah karena mengutamakan dhauq (rasa). Menurutnya, sufi dan pengamal tarekat tidak boleh meninggalkan ilmu syari’ah atau ilmu fiqih. Bahkan, menurutnya lagi, ilmu syari’ah adalah jalan menuju ma’rifat.
Ia, sebagaimana lazimnya sosok sufi, tak ingin terkenal. “Ia amat sulit untuk diwawancarai wartawan, karena beliau tak ingin dikenal orang,” ungkap Ustadz Wahfiudin, mubaligh Jakarta yang menjadi salah seorang muridnya.
Kendati demikian, ia bukanlah sosok sufi yang lari ke hutan-hutan dan gunung-gunung, seperti legenda sufi yang sering mampir ke telinga kita. Yang hidup untuk dirinya sendiri, dan menuding masyarakat sebagai musuh yang menghalangi dirinya dari Allah swt. Ia akrab dengan berbagai medan kehidupan, mulai dari pertanian sampai pertempuran.
Pada tahun 50-60-an kondisi perekonomian rakyat amat mengkhawatirkan. Abah Anom turun sebagai pelopor pemberdayaan ekonomi umat. Ia aktif membangun irigasi untuk mengatur pertanian, juga pembangunan kincir angin untuk pembangkit tenaga listrik.
Bahkan Abah Anom membuat semacam program swasembada beras di kalangan masyarakat Jawa Barat untuk mengantisipasi krisis pangan. Aktivitas ini telah memaksa Menteri Kesejahteraan Rakyat Suprayogi dan Jendral A. H. Nasution untuk berkunjung dan meninjau aktifitas itu di Pesantren Suryalaya.
Medan pertempuran bukanlah wilayah asing bagi Abah Anom. Pada masa-masa perang kemerdekaan, bersama Brig. Jend. Akil bahu-membahu memulihkan keamanan dan ketertiban di wilayahnya. Ketika pemberontakan PKI meletus (1965), ia bersama para santrinya melakukan perlawanan bersenjata.
Bahkan tidak hanya sampai di situ, Abah Anom membuat program “rehabilitasi ruhani” bagi para mantan PKI. Tak heran, jika Abah mendapat berbagai penghargaan dari Jawatan Rohani Islam Kodam VI Siliwangi, Gubernur Jawa Barat dan instansi lainnya.
Medan pendidikan juga tak luput dari ruang aktivitasnya. Mulai dari pendirian Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah ‘Aliyah pada tahun 1977, sampai pendirian Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah pada tahun 1986.
Kiprahnya yang utuh di berbagai bidang kehidupan manusia, ternyata berawal dari pemahamannya tentang makna zuhud. Jika kebanyakan kaum sufi berpendapat zuhud adalah meninggalkan dunia, yang berdampak pada kemunduran umat Islam. Maka menurut pendapat Abah Anom,
“Zuhud adalah qasr al-’amal artinya, pendek angan-angan, tidak banyak mengkhayal dan bersikap realistis. Jadi zuhud bukan berarti makan ala kadarnya dan berpakaian compang camping.”
Abah merujuk pada surat An-Nur ayat 37 yaitu, “Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah dan dari mendirikan shalat, (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati menjadi guncang.”
Jadi, menurut beliau seorang yang zuhud adalah orang yang mampu mengendalikan harta kekayaannya untuk menjadi pelayannya, sedangkan ia sendiri dapat berkhidmat kepada Allah swt semata. Atau seperti dikatakan Syekh Abdul Qadir Jailani,
“Dudukkanlah dirimu bersama kehidupan duniawi, sedangkan kalbumu bersama kehidupan akhirat, dan rasamu bersama Rabbmu.”
Inabah
Mengentaskan manusia dari limbah kenistaan bukanlah perkara mudah. Abah Anom memiliki landasan teoritis yang kuat untuk merumuskan metode penyembuhan ruhani, semuanya ada dalam nama pesantren itu sendiri yaitu, Inabah.
Abah Anom menjadikan Inabah tidak hanya sekedar nama bagi pesantrennya, tapi lebih dari itu, ia adalah landasan teoritis untuk membebaskan pasien dari gangguan kejiwaan karena ketergantungan terhadap obat-obat terlarang. Dalam kacamata tasawuf, ia adalah nama sebuah peringkat ruhani (maqam), yang harus dilalui seorang sufi dalam perjalanan ruhani menuju Allah swt.
“..Salah satu hasil dari muraqabatullah adalah al-inabah yang maknanya kembali dari maksiat menuju kepada ketaatan kepada Allah swt karena merasa malu ‘melihat’ Allah,” jelas Abah yang merujuk pada kitab Taharat Al-Qulub.
Dalam teori inabah, untuk menancapkan iman dalam qalbu, tak ada cara lain kecuali dengan dzikir laa ilaha ilallah, cara ini di kalangan TQN disebut talqin. Demikian juga dalam mesikapi mereka yang dirawat di pesantren Inabah. Mereka harus diberikan ‘pedang’ untuk menghalau musuh-musuh di dalam hati mereka, pedang itu adalah dzikrullah.
Orang-orang yang dirawat di Inabah diperlakukan seperti orang yang terkena penyakit hati, yang terjebak dalam kesulitan, kebingungan dan kesedihan. Mereka telah dilalaikan dan disesatkan setan sehingga tak mampu lagi berdzikir pada-Nya. Ibarat orang yang tak memiliki senjata lagi menghadapi musuh-musuhnya. Walhasil, obat untuk mereka adalah dzikir.
Shalat adalah salah satu bentuk dzikir. Menurut pandangan Abah Anom, para pasien itu belum dapat shalat karena masih dalam keadaan mabuk (sukara), karena itu langkah awalnya adalah menyadarkan mereka dari keadaan mabuk dengan mandi junub. Apalagi sifat pemabuk adalah ghadab (pemarah), yang merupakan perbuatan syaithan yang terbuat dari api. Obatnya tiada lain kecuali air.
Jadi, selain dzikir dan shalat, untuk menyembuhkan para pasien itu digunakan metode wudlu dan mandi junub. Perpaduan kedua metode itu sampai kini tetap digunakan Abah Anom untuk mengobati para pasiennya dari yang paling ringan sampai yang paling berat, dan cukup berhasil. Buktinya, cabang Inabah tak hanya di Indonesia, di Singapura langsung berdiri sebuah cabang serta Malaysia dua buah cabang. Belum lagi tamu-tamu yang mengalir dari berbagai benua seperti Afrika, Eropa dan Amerika.
dari Suara Hidayatullah, 1999

http://muslimdelft.nl/titian_ilmu/biografi/abah_anom_sufi_yang_tak_menyendiri.php

salam,
ikhwan TQN

Tokoh Islam abad 8H (Syekh Bahauddin An Naqsabandiy)

Syekh Muhammad Bahauddin An Naqsabandiy (717 - 791 H)
Category: Abad 08, Tokoh Islam

Syekh Muhammad Bahauddin An Naqsabandiy Ra. Adalah seorang Wali Qutub yang masyhur hidup pada tahun 717-791 H di desa Qoshrul ‘Arifan, Bukhara, Rusia. Beliau adalah pendiri Thoriqoh Naqsyabandiyah sebuah thoriqoh yang sangat terkenal dengan pengikut sampai jutaan jama’ah dan tersebar sampai ke Indonesia hingga saat ini.
Syekh Muhammmad Baba as Samasiy adalah guru pertama kali dari Syekh Muhammad Bahauddin Ra. yang telah mengetahui sebelumnya tentang akan lahirnya seseorang yang akan menjadi orang besar, yang mulia dan agung baik disisi Allah Swt. maupun dihadapan sesama manusia di desa Qoshrul Arifan yang tidak lain adalah Syekh Bahauddin.
Pada suatu saat, Syekh Muhammad Bahauddin Ra. melaksanakan sholat lail di Masjid. Dalam salah satu sujudnya hati beliau bergetar dengan getaran yang sangat menyejukkan sampai terasa hadir dihadapan Allah (tadhoru’). Saat itu beliau berdo’a, “Ya Allah berilah aku kekuatan untuk menerima bala’ dan cobaan mahabbbah (cinta kepada Allah)”. Setelah subuh, Syekh Muhammad Baba yang memang seorang waliyullah yang kasyaf (mengetahui yang ghoib dan yang akan terjadi) berkata kepada Syekh Bahauddin, “Sebaiknya kamu dalam berdo’a begini, “Ya Allah berilah aku apa saja yang Engkau ridloi”. Karena Allah tidak ridlo jika hamba-Nya terkena bala’ dan kalau memberi cobaan, maka juga memberi kekuatan dan memberikan kepahaman terhadap hikmahnya”. Sejak saat itu Syekh Bahauddin seringkali berdo’a sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Syekh Muhammad baba.
Kemudian, beliau belajar kepada Sayyid Amir Kilal di desa Nasaf. Syekh Bahauddiin dididik pertama kali oleh Sayyid Amir Kilal dengan kholwat selama sepuluh hari, selanjutnya dzikir nafi itsbat dengan sirri. Setelah semua dijalankan dengan kesungguhan dan berhasil, kemudian beliau disuruh memantapkannnya lagi dengan pelajaran beberapa ilmu seperti, ilmu syariat, hadist-hadist dan akhlaqnya Rasulullah Saw. dan para sahabat.
Toriqoh An Naqsyabandiy yang beliau nisbathkan itu sebenarnya jalur ke atas dari Syekh Muhammad Abdul Kholiq al Ghojdawaniy ke atasnya lagi dari Syekh Yusuf al Hamadaniy seorang Wali Qutub masyhur sebelum Syekh Abdul Qodir al Jailaniy.
Berkata Afif ad Dikaroniy, “Pada suatu hari aku berziarah ke Syekh Muhammad Bahauddin Ra. Lalu ada orang yang menjelek-jelekkan beliau. Aku peringatkan, kamu jangan berkata jelek terhadap Syekh Muhammad Bahauddin Ra. dan jangan kurang tata kramanya kepada kekasih Allah. Dia tidak mau tunduk dengan peringatanku, lalu seketika itu ada serangga datang dan menyengat dia terus menerus. wallahu a’lam.
Rodiyallah ‘anhu wa a’aada a‘lainaa min barokaatihi wa anwaarihi wa asroorihii wa ‘uluumihii wa akhlaaqihi allahuma amiin.
Sumber: http://www.almihrab.com/

salam,
ikhwan TQN

Tokoh Islam Abad 6H (Syekh Abdul Qodir Al Jailany)

Syekh Abdul Qodir Al Jailany (471-561 H)

Category: Abad 06, Tokoh Islam


Syekh Abdul Qodir Jilany adalah adalah imam yang zuhud dari kalangan sufi. Nama lengkap beliau adalah Abdul Qadir bin Abi Sholih Abdulloh bin Janki Duwast bin Abi Abdillah bin Yahya bin Muhammad bin Daud bin Musa bin Abdillah bin Musa al-Hauzy bin Abdulloh al-mahdh bin Al-Hasan al-mutsanna bin al-Hasan bin Ali bin Abi Tholib Al-Jailani dinisbahkan ke sebuah tempat di dekat thobristan yaitu Jiil, atau Jilan atau Kilan
Beliau lahir tahun 471 H di Jailan. Di masa mudanya beliau pergi ke Baghdad dan belajar dari al-Qadhy Abi Sa’d al-Mukhorromy. Beliau pun banyak meriwayatkan hadits dari sejumlah ulama pada masa itu di antaranya; Abu Gholib al-Baqillany dan Abu Muhammad Ja’far as-Sirraj.
Syekh ‘Izuddin bin Abdissalam mengatakan: “Tidak ada seorangpun yang karamahnya diriwayatkan secara mutawatir kecuali Syekh Abdul Qadir Jiilany.” Syekh Nuruddin asy-Syathonufy al-Muqry mengarang sebuah buku yang menjelaskan tentang sirah dan karamah beliau dalam 3 jilid, dalam buku tersebut dikumpulkan semua berita yang berkaitan dengan syekh baik itu berita yang benar, palsu maupun hanya cerita rekaan. wallahu a’lam.
Di antara cerita yang terdapat dalam buku tersebut adalah sebuah kisah yang diriwayatkan dari Musa bin Syekh Abdul Qadir al-Jilany ia berkata: Aku mendengar ayahku bercerita: Pada suatu waktu, ketika aku sedang berada dalam perjalanan di sebuah gurun. Berhari-hari lamanya aku tidak menemukan air, dan aku sangat kehausan. Tiba-tiba ada awan yang melindungiku dan turun darinya setetes air kemudian aku meminumnya dan hilang rasa dahagaku, kemudian aku melihat cahaya terang benderang, tiba-tiba ada suara memanggilku, “Wahai Abdul Qodir, Aku Rabbmu dan Aku telah halalkan segala yang haram kepadamu.” Maka Abdul Qodir berkata: “Pergilah wahai engkau Syetan terkutuk.” Tiba-tiba berubah menjadi gelap dan berasap, kemudian ada suara yang mengucapkan: “Wahai Abdul Qodir, engkau telah selamat dariku (syetan) dengan amalmu dan fiqihmu.” Demikian sedikit kisah tentang Abdul Qodir.
Syekh Abdul Qadir memiliki 49 orang anak, 27 di antaranya adalah laki-laki. Beliaulah yang mendirikan tariqat al-Qadiriyah. Di antara tulisan beliau antara lain kitab
Al-Fathu Ar-Rabbani,
Al-Ghunyah li Thalibi Thariq Al-Haq dan
Futuh Al-Ghaib.
Beliau wafat pada tanggal 10 Rabi’ul Akhir tahun 561 H bertepatan dengan 1166 M pada saat usia beliau 90 tahun.


Sumber: http://www.eramuslim.com/usm/dll/43c24182.htm

salam,

ikhwan TQN