Thursday, October 18, 2007

Pengertian Tawasul


Tawasul [1] berarti perantara atau penghubung, sebagaimana Allah memiliki Ruhul Amiin, Jibril AS, untuk menyampaikan wahyu kepada Rasulullah SAW. Demikianlah pencapaian makrifat kepada Allah, yakni terungkapnya hijab dengan Allah melalui rantai-rantai wasilah, yakni perantara yang sampai kepada Rasulullah. Demikian karena si hamba dhaif lagi faqir, maka perlulah bertawassul kepada Balatentara Allah yang suci agar hajatnya mudah sampai hadhirat Allah Yang Agung lagi Suci daripada gambaran hamba yang hina.
Perintah Allah Ta’ala dalam Al-Quran:
“Wahai orang-orang yang beriman, taqwalah engkau kepada Allah dan carilah wasilah sebagai jalan yang mendekatkan dirimu kepadaNya dan bermujahadahlah (berjuanglah) pada jalanNya, supaya kamu mendapatkan keberuntungan”.[2] (QS. Al-Maidah[5]:35).
DR. Muhammad Al-Maliki Al-Hasani mengatakan bahwa Al-Wasilah adalah segala sesuatu yang dijadikan Allah sebagai penyebab untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan penyambung untuk dipenuhNya segala kebutuhan. Untuk itu, demi suksesnya tawasul, yang ditawasuli atau yang menjadi perantara itu mesti mempunyai kedudukan dan kehormatan di sisi Allah SWT sebagai yang dituju dengan tawasul.
Orang yang bertawasul dengan perantara seseorang berkeyakinan bahwa orang tersebut adalah orang saleh atau Wali Allah atau orang yang memiliki keutamaan menurut prasangka baik terhadapnya. Orang-orang tersebut dianggapnya sebagai orang yang dekat kepada Allah dan dicintaiNya. Sebab orang yang menanamkan rasa cinta dan keyakinan yang erat pada kalbunya akan dibalas karenanya. Allah SWT berfirman: “….. Dia mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya..” (QS. Al-Maidah[5]:54). Jadi orang yang bertawasul menurut hakikatnya bertawasul kepada Allah.
Seakan-akan orang yang bertawasul kepada seorang Awliya itu berkata, “Wahai Tuhan, sesungguhnya aku mencintai si Fulan. Aku berkeyakinan bahwa ia mencintai-Mu. Ia adalah orang yang suka beribadah secara ikhlas untuk berbakti kepada-Mu. Saya juga berkeyakinan bahwa Engkau mencintainya dan meridhainya. Maka aku bertawasul – membuat perantara – untuk menuju kepada-Mu dengan perantaraan kecintaanku kepadanya dan lewat keyakinanku mengenai dirinya, hendaklah Engkau mengabulkan permohonanku, dan ….” Tetapi kebanyakan orang tidak mampu merinci keyakinan mereka mengenai yang ditawasuli – yang menjadi perantara – dengan keyakinan bahwa Allah SWT Yang Mengetahui – yang mengetahui segala ada di langit dan bumi serta mengetahui kedipan mata dan apa yang tersembunyi di dada – itu lebih jeli dan lebih mengetahui keyakinan orang yang bertawasul terhadap yang ditawasuli.
Inilah juga yang mendasari tawasul dengan rabithah, yang hanya membayangkan wajah seorang Awliya (Mursyid) akan mendekatkan kalbu (dirinya) kepada Allah SWT, dan yang berabithah itu tidak merinci apa-apa yang terbetik dalam dadanya. Hal tersebut amat mujarab dan banyak terbukti, telah dilakukan oleh banyak kalangan Ahli Tashawuf dan Hakikat.
Kata-kata Al-Wasilah (perantara) yang dimuat ayat Al-Quran itu bersifat umum. Dengan demikian, ia mencakup tawasul dengan zat atau pribadi yang mulia dari kalangan para Nabi dan orang-orang saleh, baik ketika mereka masih hidup maupun setelah wafatnya; juga mencakup tawasul kepada Allah dengan perantaraan amal-amal nyata yang baik yang diperintahkan Allah SWT dan Rasulullah SAW. Bahkan, amal perbuatan yang telah lalu dapat juga dijadikan sebagai wasilah atau perantara dalam bertawasul.
DR. Muhammad Al-Maliki Al-Hasani menjelaskan beberapa makna bertawasul:
1. Tawasul termasuk salah satu cara berdo’a dan salah satu pintu untuk menghadap kepada Allah SWT. Jadi, yang menjadi sasaran atau tujuan asli yang sebenarnya – dalam bertawasul – adalah Allah SWT. Sedangkan yang ditawasuli (al-mutawassal bih) hanya sekedar perantara (wasithah dan wasilah) untuk taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan demikian, siapa yang berkeyakinan selain demikian, sungguh ia telah menyekutukan Allah.
2. Sesungguhnya yang bertawasul itu tidak bertawasul dengan (menggunakan) perantara (al-mutawassal bih), kecuali karena ia mencintai perantara itu, seraya berkeyakinan bahwa Allah SWT-pun mencintai perantara tersebut. Jika tidak demikian, ia akan termasuk manusia yang paling jauh dari perantara tersebut, bahkan akan menjadi manusia yang paling benci kepadanya.
3. Jika yang bertawasul berkeyakinan bahwa yang ditawasuli atau yang menjadi perantara (al-mutawassal bih) itu berkuasa memberikan manfaat dan menolak mudharat dengan kekuasaannya sendiri – seperti Allah atau lebih rendah sedikit – maka ia telah menyekutukan Allah SWT.
Pada intinya tawasul itu sendiri merupakan wujud birokrasi umat sekarang terhadap umat terdahulu. Karena seandainya tidak ada jasa baik dan ijtihad umat terdahulu, maka tidak akan mungkin ada Iman dan Islam umat di akhir zaman. Inilah bukti komitmen orang yang bertawasul terhadap keberadaan mereka, sebagai realisasi perilaku orang-orang yang bermoral/berakhlak mulia.
Begitulah para ahli Thariqat, bertawasul kepada guru-gurunya hingga kepada Rasulullah SAW, yang menandakan keabsahan birokrasi Ilahiyah. Inilah kemudian yang dapat menjadikan standar kemandatan seseorang dalam memangku sebuah kepemimpinan semacam thariqat Rasul.

(Dikutip dari Buku ‘DZIKIR QUR’ANI, mengingat Allah sesuai dengan fitrah manusia’)

=====================================================
[1] Pengertian Tawasul secara lughawi:
“Bertawasul ia kepadanya dengan suatu wasilah, sama dengan mendekatkan diri ia kepadanya dengan suatu amal”. (Lisanul ‘Arab, Juz XIV: 250)
[2] Dalam Al-Quran ada 2 tempat yang menyebutkan ‘Wasilah’, satu ayat lainnya Surat Al-Isra’[17]: 57): “Mereka mencari perantara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan”.
=====================================================
salam,
ikhwan TQN

No comments: